Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain atau bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.
Dalam membawakan peran-peran yang
dimainkan, para penari memakai topeng penuh (yang menutup seluruh muka
penari), topeng setengah (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi
hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung).
Semua tokoh yang mengenakan topeng penuh tidak perlu berdialog langsung,
sedangkan semua tokoh yang memakai topeng setengah memakai dialog
berbahasa kawi dan Bali .
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam
dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua),
Panasar (Kelihan – yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu
(Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Drama tari topeng yang ada di
Bali, yang terus berjalan dan berkembang, berubah sejalan dengan
perubahan nilai nilai artistik, sosial, dan kultural dari masyarakat
Bali .
Kemampuannya beradaptasi dengan berbagai
perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat pendukungnya telah
membuat drama tari topeng ini hingga kini mendapat tempat yang cukup
istimewa di hati masyarakat, khususnya Hindu yang ada di Bali maupun
orang Bali yang ada di luar Bali .
Sebelumnya perlu kiranya diketahui, seni
pertunjukan mempergunakan topeng di Bali sudah berkembang sejak zaman
pemerintahan raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti
Jaya Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah-istilah seperti: atapukan
yang artinya pertunjukan yang mempergunakan alat-alat penutup muka
(topeng).
Selain itu, di Bali ditemukan beberapa
buah prasasti yang memuat tentang kesenian topeng, salah satunya adalah
prasasti Bebetin (tahun 896 Masehi), yang menyebutkan pertunjukan topeng
sebagai atapukan. Di samping itu keberadaan topeng juga disebutkan
dalam prasasti Blantih sekiktar tahun 1059 masehi.
Selain itu, ada juga prasasti tentang
petopengan yaitu prasasti Ularan Plasraya. Dalam prasasti itu
diceritakan tentang Pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel antara
tahun 1460-1550. pada masa itu Dalem Waturenggong berniat menaklukan
Kerajaan Blambangan. Dikirimlah pasukan tentara di bawah pimpinan Ki
Patih Ularan dan ditemani I Gusti Jelantik Pesimpangan. Dalam
pertempuran tersebut Sri Dalem Juru, Raja Blambangan, kepalanya dapat
dipenggal dan Blambangan dapat ditaklukan. Sebagai bukti telah
menaklukan Blambangan dirampaslah beberapa barang, di antaranya dua buah
gong, satu keropang Wayang Gambuh dan satu peti topeng.
Pada masa pemerintahan Wirya Sirikan,
sekitar tahun 1879 oleh I Gusti Jelantik, topeng yang jumlahnya 21 buah
itu dipindahkan ke Blahbatuh, kini topeng-topeng itu disimpan di Pura
Penataran Topeng yang berada di Blahbatuh, Gianyar. Dari 21 buah topeng
tersebut, enam di antaranya yang memakai canggem sebagai alat memegang,
topeng itulah yang diperkirakan berasal dari Jawa, karena sebagin besar
topeng Jawa menggunakan canggem.
Di Bali selain topeng yang di Blahbatuh,
juga terdapat juga topeng sakral di daerah Ketewel, Sukawati, yaitu
topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng. Topeng ini bermuka wanita
sehingga disebut Topeng Widyadari atau Bidadari,. Topeng itu ada tujuh
buah, yaitu topeng Widyadari Kendran, Nilotama, Gagar Mayang, Sulasih,
Gudita, Supraba dan Aminaka.
Di Desa Trunyan terdapat Topeng Brutuk
yang sering disebut Batara Brutuk. Di Desa Trunyan sebuah pura bernama
Pura Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah patung besar tanpa
busana setinggi empat meter yang bernama Bhatara Datonta atau Batara
Ratu Pancering Jagat. Batara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21
orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan topeng Brutuk. Wajah
topeng-topeng itu menyerupai topeng-topeng primitif, matanya besar
dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu
Bali . Topeng-topeng Brutuk itu ditarikan oleh anggota sekaa taruna.
Sebelum menari para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42
hari.
Selain itu, terdapat juga Barong
yang merupakan topeng yang berwujud binatang, mitologi yang memiliki
kekuatan gaib dan dijadikan pelindung masyarakat Bali. Barong Ket juga
dianggap sebagai manifestasi dari Banaspati Raja, atau Raja Hutan. Orang
Bali menganggap seekor Singa sebagai Raja Hutan yang paling dahsyat.
Dalam pementasan tari Barong, figur Barong Ket dijadikan lambang
kemenangan dan Rangda merupakan pihak yang kalah. Namun di luar konteks
seni pergelaran, kedua figur itu disandingkan sebagai pelindung
masyarakat. Selain Barong Ket, di Bali terdapat beberapa jenis Barong
lainnya, seperti Barong Bangkal, Barong Gajah, Barong Macan, dan Barong
Asu.
Ada juga Barong Landung dari segi
wujudnya berbeda dengan barong-barong lainnya di Bali. Barong Landung
diduga manifestasi dari perkawinan Dalem Balingkang (Jaya Pangus) dengan
Putri Cina bernama Kang Ching Wie. Perkawinan itu tidak direstui oleh
Bhatari Batur, yang kemudian mempralina keduanya. Sebagai tonggak
peringatan, maka keduanya diwujudkan ke dalam pratima kecil dan disembah
di Pura Batur. Sebagai wujud besarnya, kedua pratima itu dibuat dalam
bentuk Barong Landung, laki-laki dan perempuan, Jero Gede dan Jero Luh.
Barong Dingkling atau Wayang Wong
disebut juga Barong Blas-blasan. Ciri khas penampilan Barong Dingkling
adalah meloncat-loncat dan kemudian berpisah-pisah satu sama lain untuk
mencari sasarannya. Barong Dingkling yang tapelnya berupa topeng-topeng
wanara seperti Sugriwa, Anoman, Anggada, Menda, dan Jumawan, merupakan
tari penolak bala dan hama. Setiap tokoh itu mengusir hama-penyakit.
Para wanara yang meloncat-loncat keriangan, dengan bunyi-bunyi ngore
seperti monyet, menggetarkan pohon-pohon kelapa pertanda ritual
pembersihan dilakukan.
Ada juga topeng Rangda, nama lain dari
Calonarang — janda dari Desa Girah (Dirah) yang mempraktekkan desti
(ilmu hitam) berwujud sebuah topeng yang sangat mengerikan. Biasanya
menggambarkan sifat kejahatan dalam dramatari Calonarang. Rangda sebagai
sungsungan (sakral) hampir tak pernah dipisahkan keberadaannya dengan
Barong Ket. Keduanya distanakan sebagai makhluk dahsyat yang bisa
memberi perlindungan kepada masyarakat penyungsungnya. Hampir setiap
desa di Bali memiliki kedua tokoh ini yang sebagai penjaga keselamatan
desa.
Yang terakhir adalah Topeng Babad yang
menggunakan babad sebagai sumber lakonnya. Ada dua jenis Topeng Babad
yaitu Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng Pajegan dimainkan seorang
penari (aktor) yang sendirian menarikan 8-12 tokoh berbeda dalam sebuah
pementasan. Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, karena ia berfungsi
untuk sarana upacara keagamaan dan dipentaskan sejajar dengan Wayang
Lemah. Sedangkan Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari.
Jenis-jenis Dramatari Topeng di Bali :
Topeng Pajegan
Kata pajegan mengacu kepada kegiatan
pedesaan masyarakat Bali agraris, yang kini bisa diterjemahkan dengan
”memborong”. Penari Topeng Pajegan memborong semua peran yang ada di
dalam cerita. Yang ada hanya seorang pemain, dan cerita berkembang
dengan seutuhnya lewat satu pemain. Pada intinya, Topeng Pajegan adalah
ritual yang mengiringi upacara keagamaan Hindu dalam budaya Bali yang
diakhiri dengan Topeng Sidakarya sebagai puncak dari ritual itu.
Oleh karena itu, penari Topeng Pajegan
adalah orang yang tinggi tingkatan spiritualnya, karena dia harus
memberikan pencerahan kepada masyarakat (penonton) apa inti upacara itu,
apa tujuan upacara, dan apa akibatnya apabila upacara ini tidak
dilaksanakan. Seorang penari Topeng Pajegan adalah seorang pendharma
wacana yang piawai, sekaligus memiliki kemampuan bercerita seperti
seorang dalang.
Topeng Pajegan, topeng yang ditarikan
oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat di
dalam topeng. Di dalam Topeng Pajegan ada sebuah topeng yang mutlak
harus ada yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan
topeng pajegan ini dengan upacara keagamaan maka topeng inipun disebut
topeng Wali.
Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya. Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa banyak pun banten yang dihaturkan, tidak akan ada artinya jika belum mendapat ”restu” dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu diperlukan pamuput karya di luar sulinggih, yakni pementasan Topeng Sidakarya.
Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya. Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa banyak pun banten yang dihaturkan, tidak akan ada artinya jika belum mendapat ”restu” dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu diperlukan pamuput karya di luar sulinggih, yakni pementasan Topeng Sidakarya.
Legenda di balik pementasan Topeng
Sidakarya. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong
di Gelgel yang akan mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Tiba-tiba
ada seorang Brahmana walaka—bukan pendeta—dari Keling, Madura mengaku
akan mencari saudaranya yang tiada lain adalah Dalem Waturenggong.
Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling
sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip
seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf
kerajaan yang percaya kalau tamu tak diundang itu saudara Dalem
Waturenggong. seorang pandita. Maka, Brahmana Keling diusir dengan
paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Brahmana Keling pergi dengan dendam. Di
sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan
mantra yang isinya yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong
tidak akan membawa berkah, malahan menimbulkan bencana. Semua banten
menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus
semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah.
Raja Waturenggong dalam samadinya tahu
siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya
Tangkas untuk menjemput Brahmana Keling yang masih tinggal di tempat
sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan memohon kepada Brahmana Keling
agar karya yang dilaksanakan menjadi sida (diberkahi). Jika mampu maka Brahmana Keling akan diakui sebagai saudara dan diberi gelar Dalem Sidakarya.
Selanjutnya, Dalem Waturenggong
menitahkan agar setiap upacara atau karya yang dilaksanakan orang Bali
menggunakan Topeng Sidakarya sebagai pemuput upacara atau mohon jatu karya
Topeng Panca
Drama tari topeng yang ditarikan
oleh 5 ( lima ) orang penari. Topeng ini timbul di Denpasar sekitar
tahun 1915. Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari. Topeng ini
merupakan perkembangan dari Topeng Pajegan. Topeng Panca ini berkembang
menjadi Topeng Sapta, dengan tambahan penari Putri dan Condong.
Topeng Prembon
Dramatari topeng yang sudah
dikombinasikan dengan unsur drama tari Bali lainnya (biasanya dari arja)
namun strukturnya patopengannya masih tetap dominan. Topeng Prembon
yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng
Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni
pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan
penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.
Prembon (per-imbuh-an) adalah dramatari
campuran dari berbagai unsur dramatari klasik Bali yang ada.
Sesungguhnya setiap dramatari yang diciptakan dengan cara menggabungkan
berbagai unsur-unsur tari Bali yang telah ada dapat disebut sebagai
Prembon. Prembon muncul pada zaman revolusi, tepatnya tahun 1942,
Prembon lahir dari penggabungan seni Topeng dan Arja. Lakon yang
ditampilkan pada umunnya bersumber dari cerita Babad dan semi sejarah
lainnya sebagaimana halnya dramatari. Di daerah Gianyar, Prembon yang
banyak memasukan unsur-unsur Arja dan Gambuh biasa disebut Tetantrian.
judi sabung ayam dengan presentase kemenangan tertinggi
BalasHapusUntuk info lebih lanjut bisa melalui:
whatup : 08122222995
BBM: D8C363CA
BBM: D8C363CA