Tari Barong adalah tarian khas Bali yang berasal dari khazanah
kebudayaan Pra-Hindu. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara
kebajikan (dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud kebajikan dilakonkan
oleh Barong, yaitu penari dengan kostum binatang berkaki empat,
sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok yang
menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya.
Ada beberapa jenis Tari Barong yang biasa ditampilkan di Pulau Bali,
di antaranya Barong Ket, Barong Bangkal (babi), Barong Macan, Barong
Landung. Namun, di antara jenis-jenis Barong tersebut yang paling sering
menjadi suguhan wisata adalah Barong Ket, atau Barong Keket yang
memiliki kostum dan tarian cukup lengkap.
Kostum Barong Ket umumnya menggambarkan perpaduan antara singa,
harimau, dan lembu. Di badannya dihiasi dengan ornamen dari kulit,
potongan-potongan kaca cermin, dan juga dilengkapi bulu-bulu dari serat
daun pandan. Barong ini dimainkan oleh dua penari (juru saluk/juru
bapang): satu penari mengambil posisi di depan memainkan gerak kepala
dan kaki depan Barong, sementara penari kedua berada di belakang
memainkan kaki belakang dan ekor Barong.
Secara sekilas, Barong Ket tidak jauh berbeda dengan Barongsai yang
biasa dipertunjukkan oleh masyarakat Cina. Hanya saja, cerita yang
dimainkan dalam pertunjukan ini berbeda, yaitu cerita pertarungan antara
Barong dan Rangda yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti
Kera (sahabat Barong), Dewi Kunti, Sadewa (anak Dewi Kunti), serta para
pengikut Rangda.
Macam-macam Tari Barong
Barong Ket
Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak
terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki
pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini
merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong
ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin
yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun
sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung
gagak.
Barong Bangkal
Bangkal artinya babi besar yang berumur tua, oleh sebab itu Barong
ini menyerupai seekor bangkal atau bangkung, Barong ini biasa juga
disebut Barong Celeng atau Barong Bangkung. Umumnya dipentaskan dengan
berkeliling desa (ngelelawang) oleh dua orang penari pada hari-hari
tertentu yang dianggap keramat atau saat terjadinya wabah penyakit
menyerang desa tanpa membawakan sebuah lakon dan diiringi dengan gamelan
batel / tetamburan
Barong Landung
Barong Landung adalah satu wujud sesuhunan yg berwujud manusia tinggi
mencapai 3 meter. Barong Landung tidak sama dengan barong ket yg sudah
dikomersialisasikan. Barong Landung lebih sakral dan diyakini
kekuatannya sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan umat. Barong
Landung banyak dijumpai disekitar Bali Selatan, seperti Badung, Denpasar,
Gianyar, Tabanan.
Barong Macan
Sesuai dengan namanya, Barong ini menyerupai seekor macan dan
termasuk jenis barong yang terkenal di kalangan masyarakat Bali.
Dipentaskannya dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan
suatu dramatari semacam Arja serta diiringi dengan gamelan batel.
Rangda
Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali. Makhluk yang
menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan anak kecil serta
memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong, yang merupakan simbol
kekuatan baik.
Sehari sebelum Nyepi, masyarakat Hindu khususnya di Bali,
melaksanakan tradisi pengrupukan. Tradisi ini semacam prosesi
mengembalikan bhuta kala ke asalnya. Menurut kepercayaan, mereka
dibangunkan dengan alat-alat, umumnya obor; api saprakpak, sembur meswi,
bunyi-bunyian kentongan yang dibawa mengelilingi seisi rumah. Sementara
itu, berwujud ogoh-ogoh, sang “bhuta kala” lalu diarak menuju catus
pata, perempatan.
Pawai ogoh-ogoh hampir selalu diadakan
tiap kali menyambut hari raya Nyepi. Rupa mereka direka sedemikian rupa
dengan variasi bentuk menyeramkan. Ada yang berwujud raksasa, perjelmaan
dewa-dewi dalam murti-nya, mengambil tokoh dari cerita pewayangan atau
memakai figur-figur yang sedang populer. Mereka dirakit memadukan
estetika seni yang memikat secara visual.
Hampir setiap tahun, keberadaan ogoh-ogoh bak penggenap wajib dalam
tradisi menyambut Nyepi. Pawai semarak selalu menjadi atraksi yang
dinanti. Kebanyakan orang pasti bertanya perihal cikal bakal ogoh-ogoh
dalam tradisi menyambut Nyepi. Salah satu yang tergelitik adalah Kadek
Adhi Indrayana. Dia membuat penelitian tentang ogoh-ogoh secara
akademis.
Lulusan S1 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang mengambil
program S2 Kajian Budaya ini, mengangkat keberadaan ogoh-ogoh dalam
kaitannya dengan ritual Nyepi. Dalam tesisnya, putra pemilik Sanggar
Gases Bali ini mencoba mengupas keberadaan ogoh-ogoh dalam hal bentuk,
fungsi, dan makna. Ditemui di kantor kecilnya di Jalan Dukuh Sari ketika
tengah melayani pelanggan pekan lalu, Kadek Adhi berbagi cerita
sekaligus berkenan membagi materi tesisnya.
Ia mengawali perbincangan dengan mengatakan, ogoh-ogoh sebagai suatu
bentuk perwujudan. “Ogoh-ogoh sesungguhnya merupakan gambaran akan bhuta
kala yang diwujudkan ke dalam suatu bentuk,” terang Kadek Adhi.
Penamaan ogoh-ogoh pun diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa
Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh diabadikan
bahkan dalam sebuah lagu Bali cukup populer. Kata-kata itu dicatumkan
sebagai lirik berbunyi “ogah-ogah, ogoh-ogoh, kala-kali lumamapah/
ogah-ogah, ogoh-ogoh, ngiterin desa…”.
Tahun 1983 bisa menjadi bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di
Bali. Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud bhuta kala berkenaan
dengan ritual Nyepi di Bali. “Ketika itu ada keputusan presiden yang
menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional,” tutur Kadek Adhi.
Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian
disebut ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar.
Budaya baru ini semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam
Pesta Kesenian Bali ke XII. Delapan kabupaten ikut berkontribusi.
Sebelum itu, menurut Kadek Adhi, hanya ada pawai-pawai tanpa ada bentuk
perwujudan.
Lelakut
Tradisi mengembalikan Bhuta Kala ke asalnya di hari pengrupukan,
disimbolkan dengan ogoh-ogoh, mirip tradisi lama masyarakat Hindu Bali.
Tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang
menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, disebutkan Kadek Andhi bisa juga
dirujuk untuk menelusuri cikal bakal wujud ogoh-ogoh.
Di dalam babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang
seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta
yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa
laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga.
Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal
bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.
“Ada tradisi Ndong-nding yang bisa juga dirujuk,” tambah Kadek Adhi.
Ngusaba Ndong nding semacam tradisi pengusiran hama di Karangasem,
menurut Kadek Adhi, ritual ini menggunakan lelakut, semacam
orang-orangan sawah. Hama diibaratkan sebagai sang bhuta kala, energi
negatif yang mengganggu manusia.
Begitu halnya ketika hari pengrupukan. Sang Bhuta Kala diberi upah
berupa pecaruan, lalu disomya, disadarkan agar kembali ke asalnya.
Dualisme itu ada dan harus diseimbangkan.
“Ada mantra khan yang bunyinya dewa ya, bhuta ya, kala ya,” ujarrnya.
Diterangkannya, dewa dari div berarti sinar; bhuta dari bhu berarti
gelap. Sedangkan kala yang berada di tengah-tengah, berarti energi atau
kekuatan bisa juga waktu.
“Maka, ketika kala terpengaruh bhuta dia mengandung energi kegelapan,
negatif menjadi bhuta kala. Sebaliknya, begitu juga pada dewa,”
terangnya. Sifat-sifat itu juga ada dalam manusia. “Bila kita marah,
menyeramkan, kita memiliki sifat-sifat bhuta,” urai kadek Andhi yang
juga mengabdi sebagai mangku.
Ogoh-ogoh menurut Kadek Andhi juga digunakan dalam upacara ngaben.
“Ada namanya Ngaben Ngwangun, salah satu tingkatan upacara ngaben, bisa
berupa kakek atau nenek,” ungkapnya sembari menerangkan juga perihal
Sang Kalika.
Kaca Rasa
Ogoh-ogoh merupakan budaya baru di Bali. Kehadirannya menjadi salah satu
pelengkap ritual Nyepi. “Ada budaya-budaya yang mengalami proses
tersakralisasi dan itu sah-sah saja,” paparnya. Eksistensi tradisi dalam
pelaksanaan ritual umat Hindu di Bali saling melengkapi, sudah baur
menjadi kesatuan.
Seiring waktu banyak yang mengkaji keberadaan ogoh-ogoh baik dari
tafsir agama, seni dan budaya. “Setelah dikaji dan dikaitkan dengan
konsep agama, ogoh-ogoh lebih mengarah ke bentuk tradisi,” ujar Kadek
Adhi.
Ogoh-ogoh merunut jejaknya, kemunculannya lebih kepada suatu bentuk
simbolisasi. Menyimbolkan energi-energi negatif sang bhuta kala, dengan
perwujudan menyeramkan untuk dipralina, dilebur dengan air maupun api.
“Umpamanya, kalau mau mengusir yang jahat pakailah perwujudan yang serem
juga,” candanya. Logika ini ia namai dengan konsep kaca rasa, yang
memberikan suatu cerminan atas sesuatu yang terlihat.
“Sebagai suatu bentuk karya seni, ia juga tak bisa dilepaskan dari
unsur Satyam, Siwam dan Sundaram,” jelasnya. Konsep penciptaan dalam
masyarakat Hindu sangat terkait dengan unsur Kebenaran (satyam),
kebaikan/kesucian (siwam) dan keindahan (sundaram).
Berbicara mengenai Layang-layang Bali berarti kita berbicara tentang tradisi serta
hasil budaya bali yang sangat komplek, Mulai dari daya imajinasi untuk
melahirkan ide hingga timbulnya bentuk disebut sebagai Layang-layang.
Bermain Layang-layang atau dengan istilah Bali disebut dengan Melayangan bermula
dari sebuah permainan masyarakat yang sangat sederhana, Tradisi
Melayangan telah terjadi secara turun temurun yang diwariskan oleh
masyarakat Bali.
Layang-layang
dan juga tradisi Melayangan sangat erat kaitannya dengan cerita rare
angon, Dipercaya bahwa Dewa Siwa dalam manivestasinya sebagai Rare angon
merupakan Dewa Layang-layang.Pada musim layangan atau setelah panen di
sawah Rare Angon turun ke Bumi diiringi dngen tiupan deruling bertanda
untuk memanggil sang angin.
Rare
Angon berarti anak gembala, setelah musim panen para prtani terutama
anak gembala mempunyai waktu senggang yang mereka gunakan untuk
senang-senang. Sambil menjaga ternaknya salah satu permainan yang sering
mereka lakukan adalah bermain Layang-layang.
Bagi
Masyarakat Bali layang-layang mempunyai nilai kesungguhan yang menonjol
dan bukan sebagai benda kosong tanpa nilai, Masyarakat Bali percaya
bahwa Layang-layang mempunyai badan, Tulang dan Roh. Salah satu ivent
yang diadakan rutin setiap tahun dan sangat antusias diikiuti oleh
masyarakat Bali adalah Pestival Layang-layang.
festival
Layang-layang bali pertama kali dilakukan pada tahun 1979 bertempat di
Subak Tanjung Bungkak Denpasar. Setelah hampir seperempat Abad festival
Layang-layang masih mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat.
Layang-layang masyarakat Bali sangat dikagumi diluar Negeri Selain karena bentuknya yang khas,layang-layang Bali
juga dikenal dengan proses ritual yang menyertainya. sampai saat ini,
Masyarakat Bali mengenal dua jenis layang-layang yaitu Layang-layang
Tradisional dan Layang-layang Kreasi baru.
Selain
layang-layang tradisional dan kreasi masyarakat juga mengenal
Layang-layang aduan.Layang-layang Tradisional merupakan layang-layang
yang sudah mentradisi di Masyarakat Bali. Untuk sebuah layang-layang
yang akan diikiutkan dalam sebuah festival, Dalam proses pembuatannya
biasanya melibatkan hampia semua Masyarakat dalam sebuah Banjar.
Bentuk
layang-layang Tradisional telah dikenal sejak jaman dulu mulai dari
bentuk yang paling sederhana sampai ahirnya berkembang seperti sekarang.
Kerangka layang-layang yang terbuat dari bambu yang dihaluskan serta
kain yang digunakan sebagai penutup sangat warna-warni, secara umum
warna yang sering dijumpai adalah warna Hitam, Merah dan Putih.
layang-layang Be-bean, Pecukan dan janggan merupakan tiga jenis
Layang-layang Tradisiolan Bali yang sudah sangat dikenal.
Layang-layang Be-bean
Layang-layang
Be-bean berasal dari kata Be yang berarti Ikan, layang-layang Be-bean
mengambil bentuk seekor Ikan besar yang bersudut 10. hidup Ikan selalu
tergantung pada air,sinar,tanah,Udara dan angkasa yang kesemuanya itu
merupakan unsur Maha Butha.
Layang-layang Pecukan
Layang-layang Pecukan, nama Pecukan diambil karena layang-layang ini mempunyai 4 sudut dan bentuknya menekuk yang dalam bahasa Bali adalah Pecuk. Pecukan ini dapat dibandingkan dengan Ulu Chandra yaitu Windu, Merupakan Wijaksana simbol Hyang Widhi Wasa.
Layang-layang Janggan
Layang-layang Janggan merupakan asosiasi dari Pecukan yang memiliki ekor panjang
seperti Naga. Ekor yang panjang diasosiasikan sebagai Ananta Bhoga
simbol dari Dewa kemakmuran. Ketiga layang-layang tersebut setiap
pementasannya selalu diberi Guangan yang akan mengeluarkan suara bila di
terpa angin.
Layang-layang Kreasi
Layangan Kreasi, biasanya dibuat berbentuk : binatang, tokoh, dll sesuai dengan keinginan pembuat layangan
Bagi masyarakat Bali bermain Layang-layang adalah sebuah keakraban dan menjalin kebersamaan.
Tenganan atau Tenganan Pegringsingan itulah
nama sebuah desa Bali Aga (Bali Kuna) yang terletak di Kabupaten
Karangasem. Desa ini berdiri ditengah-tengah perbukitan yang kokoh
laksana benteng pelindung yang mengisolasi desa Tenganan. Desa tenganan
inilah yang memiliki adat istiadat yang tiada duanya di Bali. Seperti
apa adat istiadat mereka?
Penduduk Tenganan telah diwarisi aturan
tertulis atau awig-awig secara turun temurun dari moyang mereka. Aturan
tersebut masih dijalankan sampai saat ini sehingga kelestariaannya tetap
terjaga. Bangunan rumah penduduk dibuat hampir sama satu dengan yang
lain, yaitu dibangun sejajar dari arah utara ke selatan. Begitu juga
dengan ukuran masing-masing bangunan, sungguh tiada bedanya, karena
sudah ada patokan khusus mengenai tata cara pembangunan di desa itu.
Budaya gotong royong dan saling tolong menolong masih menjadi kebiasaan
penduduk yang telah mendarah daging.
Dari berbagai upacara keagamaan yang dilakukan di Tenganan, salah satu yang paling menarik adalah upacara Mekare kare atau Geret Pandan (perang pandan).
Upacara yang dilangsungkan pada sasih kalima (bulan kelima pada
kalender Bali) adalah bagian dari upcara "Sasih Sembah" yaitu upacara
keagamaan terbesar di Desa Tenganan.
Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini
adalah didepan Bale Patemu (balai pertemuan yang ada di halaman desa).
Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga
menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), dan para
pria tanpa pakaian atas bertarung satu lawan satu berbekal pandan
berduri yang diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada. Sambil
menari-nari mereka bergulet dan mengiris punggung lawan. Tangan kanannya
memegang senjata pandan sedangkan tangan kiri mereka memegang perisai
yang terbuat dari rotan. Duel ini dilakukan secara bergilir (kurang
lebih selama 3 jam) dan wajib diikuti oleh semua pria di desa tersebut
(mulai naik remaja). Seusai upacara tesebut semua luka gores diobati
dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk
menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat
itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi
ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa
Indra, Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi
perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum
ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.
Omed-omedan atau juga
disebut Med-medan rutin digelar setiap tahun, sehari setelah hari raya
Nyepi atau yang disebut sebagai hari Ngembak Geni. Konon, acara ini
sudah diwariskan sejak tahun 1900-an dan hanya bisa ditemukan di Banjar
Kaja Sesetan. Warga setempat meyakini, bila acara ini tak
diselenggarakan, dalam satu tahun mendatang berkah Sang Dewata sulit
diharapkan dan berbagai peristiwa buruk akan datang menimpa. Pernah pada
1970-an ditiadakan, tiba-tiba di pelataran Pura terjadi perkelahian dua
ekor babi. Mereka terluka dan berdarah-darah, lalu menghilang begitu
saja. Peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi semua warga
Banjar.
SEJARAH OMED-OMEDAN
Wayan Sunarya tokoh masyarakat di Banjar
Kaja Sesetan menceritakan, tradisi omed-omedan itu merupakan tradisi
leluhur yang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya
ritual ciuman massal itu dilakukan di Puri Oka. Puri Oka merupakan
sebuah kerajaan kecil pada zaman penjajahan Belanda.
Ceritanya, pada suatu saat konon raja
Puri Oka mengalami sakit keras. Sang raja sudah mencoba berobat ke
berbagai tabib tapi tak kunjung sembuh. Sehari setelah Hari Raya Nyepi
(saat Ngembak Geni), masyarakat Puri Oka menggelar permainan
omed-omedan. Saking antusiasnya, suasana jadi gaduh akibat acara saling
rangkul para muda-mudi. Raja Puri Oka yang saat itu sedang sakit pun
marah besar karena keriuhan dan keributan yang diakibatkan oleh suara
Muda-Mudi yang mengikuti acara Omed-Omedan tersebut. Dengan berjalan
terhuyung-huyung raja keluar dan melihat warganya yang sedang
rangkul-rangkulan. Anehnya, ketika melihat adegan yang panas itu,
tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya. Ajaibnya lagi raja kembali
sehat seperti sediakala.
Raja lalu mengeluarkan titah agar
omed-omedan harus dilaksanakan tiap tahun sekali, yaitu sehari setelah
Hari Raya Nyepi (pada saat Ngembak Geni). Namun pemerintah Belanda yang
waktu itu menjajah gerah dengan upacara itu. Belanda pun melarang ritual
permainan muda-mudi tersebut. Warga akhirnya tidak menggelar
omed-omedan. Namun, setelah omed-omedan tidak dilaksanakan lagi,
tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat omed-omedan biasa
digelar. “Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur.
Setelah itu omed-omedan dilaksanakan kembali sehari setelah Hari Raya
Nyepi”, kata Wayan Sunarya.
RUNTUTAN OMED-OMEDAN
Sebelum memulai tradisi unik ini para
peserta omed-omedan yang seluruhnya adalah pemuda dan pemudi melakukan
persembahyangan dan doa bersama di pura Banjar yang dipimpin oleh
pemangku setempat. Usai berdoa, barulah para peserta membaur ketengah
arena disaksikan ribuan warga yang hadir dalam tradisi setahun sekali
ini. Sebelum dimulai, peserta dibagi dua kelompok sesuai dengan jenis
kelamin dan posisi berlawanan.
Selanjutnya, salah satu dari kedua
kelompok pemuda dan pemudi kemudian diarak bergiliran untuk saling
berpelukan dan berciuman. Dalam tradisi ini kedua peserta yang diarak
ini tidak boleh memilik pasangan yang diciumnya. Aksi berpelukan dan
berciuman ini akan dipisahkan setelah para peserta mendapat guyuran air
dari panitia.
Bagi para peserta, meski mengaku risih
karena berciuman ditempat ramai, namun hal ini dilakukan karena
merupakan salah satu tradisi leluhur, sekaligus sebagai hiburan pasca
melaksanakan tapa brata penyepian.
Sementara bagi sesepuh desa sendiri
selain sebagia salah satu penghormatan terhadap leluhur, tradisi
omed-omedan juga sebagai ajang membina hubungan antar sesama warga
Banjar tersebut.
OMED-OMEDAN DIFESTIVALKAN
Omed-omedan niscaya bukan tradisi baru
usai perayaan Hari Raya Nyepi Tradisi yang sudah berurat akar dalam
kehidupan warga Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar, itu tampil dengan wajah
baru. Omed-omedan tidak lagi diperagakan melalui adegan komunitas anak
muda berlainan jenis yang saling berciuman semata. Tradisi ini
didongkrak derajat popularitasnya menjadi sebuah festival.
Tradisi ini telah berlangsung ratusan
tahun. Omed-omedan dihelat tiaptahun baru saka mulai pukul 15.00 di aula
Bale Banjar Kaja. Acaranya dimulai dengan untaian kata prajuru banjar
yang diikuti persembahyangan bersama. Lalu, ada dharma santhi atau
masima karma serta pentas tarian Bali. Kemudian digelar acara puncaknya
berupa omed-omedan di depan bale banjar.Anggapan yang melukiskan tradisi
ini sebagai kesempatan kaum muda untuk berciuman di depan masyarakat
umum. Tradisi ini hanya merupakan luapan kebahagiaan muda-mudi saat
merayakan omed-omedan pada hari ngembak geni.Tradisi langka ini telah
dilakoni secara turun-temurun warga masyarakt Banjar Kaja. Warganya
merefleksikan tradisi ini sebagai sebuah tradisi yang mengandung nilai
religiusitas, persatuan dan kesatuan, etika, dan estetika.Oleh karena
itu, tradisi ini meruapakn warisan adiluhung leluluhur yang akan tetap
dilestarikan,Para tokoh dan warga Banjar Kaja pun mulai berusaha
mendongkrak citra tradisi ini. Kemasan perlehatannya tidak lagi
dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya.Tradisi ini dijadikan sebuah
festival.
Komunitas
teruna-teruni banjarnya menjadi tulang punggung kerja adat ini.kegiatan
tradisi omed-omedan ini memang dipercayakan manajemen pelaksanaannya
kepada kalangan teruna-teruni. Kalangan anak muda banjar ini diberikan
tanggung jawab untuk mengemasnya menjadi sebuah perhelatan yang makin
menarik, tetapi tidak menghilangkan kekhasan dan spiritnya.Kemasan
festival dalam menggelar tradisi omed-omedan tahun ini pun dupayakan
agar tetap berada dalam ciri khasnya itu.Sebagai sebuah festival,
tradisi itu dilengkapi pelaksanaannya dnegan pembukaan pasar rakyat.
Pasar rakyat ini memamerkan karya home industry warga Banjar
Kaja,makanan khas tradisional Bali, termasuk beragam produk
lainnya.Upaya Pemerintah Kota Denpasar untuk menjadikan tradisi ini
sebagai salah satu ikon Kota Denpasar direspons positif. Namun,
manajemen tradisi ini akan terus dibenahi.
Sudah sejak lama tradisi tajen atau sabung ayam sudah tumbuh dan berkembang di Bali, awalnya berkembang dari rangkaian upacara dewa yadnya yang dinamakan upacara Tabuh Rah,
yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes
sebagai simbol / syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan atau
keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah
juga bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang
menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang
Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya, kemudian terjadi
pergeseran makna ritual dan tabuh atau tajen ini kemudian mengarah
kepada judi. Memang acara Tajen atau sabung ayam di Bali cukup dikenal
dan digemari dikalangan masyarakat Bali, terutama oleh kaum prianya,
walaupun jelas-jelas judi itu melanggar hukum, namun dibeberapa tempat
sabung ayam ini masih berlangsung walaupun sembunyi-sembunyi untuk
menghindari aparat.
Beberapa waktu terakhir ini, malah
muncul wacana bahwa tajen ataupun sabung ayam ini akan dibuatkan Perda
alias peraturan daerah, banyak yang pro dan tentunya lebih banyak yang
kontra dengan wacana tersebut. Sebelum judi menjadi kegiatan haram bagi
kepolisian, tajen digelar secara bebas dan terbuka, kadang di suatu
tempat membuat arena khusus untuk pergelaran tajen.Tapi kegiatan ini
terlalu bebas bagi masyarakat, tidak membatasi kalangan usia, sehingga
anak-anak yang secara kebetulan lewat dan menyaksikan kegiatan ini,
tentunya akan berpengaruh buruk juga.
Bali sebagai tujuan wisata, banyak tamu asing yang kebetulan lewat
dan melihat aktifitas ini, ini mungkin perlu mendapatkan penjelasan yang
benar dari pemandu wisatanya. Kalau kita lihat kehidupan dan aktifitas
seputar tempat tajen akan banyak dijumpai orang berjualan nasi, kopi,
buah-buahan, bakso dan lain-lain. Bebotoh dan penonton menikmati sekali
makanan yang dijajakan oleh para pedagang tersebut. Selain pedagang,
yang bisa mengais rejeki di tempat tajen adalah tukang ojek, tukang
parkir, tukang sapu, dan tukang karcis. Itulah sebabnya, para pembela
tajen senang mengatakan bahwa uang yang berputar di tempat tajen tidak
lari keluar pulau, melainkan hanya berputar dikalangan masyarakat.
Maksudnya barangkali menyindir togel (toto gelap) yang menyedot uang
masyarakat dan uang tersebut lari keluar pulau. Untuk memberantas tajen
memang sangat dilematis sekali, sekarang kita saja, masyarakat Bali yang
harus menilai, apakah tajen ini perlu dilestarikan atau tidak.
Topeng berarti penutup muka yang terbuat
dari kayu, kertas, kain atau bahan lainnya dengan bentuk yang
berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang,
setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk
dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang
bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.
Dalam membawakan peran-peran yang
dimainkan, para penari memakai topeng penuh (yang menutup seluruh muka
penari), topeng setengah (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi
hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung).
Semua tokoh yang mengenakan topeng penuh tidak perlu berdialog langsung,
sedangkan semua tokoh yang memakai topeng setengah memakai dialog
berbahasa kawi dan Bali .
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam
dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua),
Panasar (Kelihan – yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu
(Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Drama tari topeng yang ada di
Bali, yang terus berjalan dan berkembang, berubah sejalan dengan
perubahan nilai nilai artistik, sosial, dan kultural dari masyarakat
Bali .
Kemampuannya beradaptasi dengan berbagai
perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat pendukungnya telah
membuat drama tari topeng ini hingga kini mendapat tempat yang cukup
istimewa di hati masyarakat, khususnya Hindu yang ada di Bali maupun
orang Bali yang ada di luar Bali .
Sebelumnya perlu kiranya diketahui, seni
pertunjukan mempergunakan topeng di Bali sudah berkembang sejak zaman
pemerintahan raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti
Jaya Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah-istilah seperti: atapukan
yang artinya pertunjukan yang mempergunakan alat-alat penutup muka
(topeng).
Selain itu, di Bali ditemukan beberapa
buah prasasti yang memuat tentang kesenian topeng, salah satunya adalah
prasasti Bebetin (tahun 896 Masehi), yang menyebutkan pertunjukan topeng
sebagai atapukan. Di samping itu keberadaan topeng juga disebutkan
dalam prasasti Blantih sekiktar tahun 1059 masehi.
Selain itu, ada juga prasasti tentang
petopengan yaitu prasasti Ularan Plasraya. Dalam prasasti itu
diceritakan tentang Pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel antara
tahun 1460-1550. pada masa itu Dalem Waturenggong berniat menaklukan
Kerajaan Blambangan. Dikirimlah pasukan tentara di bawah pimpinan Ki
Patih Ularan dan ditemani I Gusti Jelantik Pesimpangan. Dalam
pertempuran tersebut Sri Dalem Juru, Raja Blambangan, kepalanya dapat
dipenggal dan Blambangan dapat ditaklukan. Sebagai bukti telah
menaklukan Blambangan dirampaslah beberapa barang, di antaranya dua buah
gong, satu keropang Wayang Gambuh dan satu peti topeng.
Pada masa pemerintahan Wirya Sirikan,
sekitar tahun 1879 oleh I Gusti Jelantik, topeng yang jumlahnya 21 buah
itu dipindahkan ke Blahbatuh, kini topeng-topeng itu disimpan di Pura
Penataran Topeng yang berada di Blahbatuh, Gianyar. Dari 21 buah topeng
tersebut, enam di antaranya yang memakai canggem sebagai alat memegang,
topeng itulah yang diperkirakan berasal dari Jawa, karena sebagin besar
topeng Jawa menggunakan canggem.
Di Bali selain topeng yang di Blahbatuh,
juga terdapat juga topeng sakral di daerah Ketewel, Sukawati, yaitu
topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng. Topeng ini bermuka wanita
sehingga disebut Topeng Widyadari atau Bidadari,. Topeng itu ada tujuh
buah, yaitu topeng Widyadari Kendran, Nilotama, Gagar Mayang, Sulasih,
Gudita, Supraba dan Aminaka.
Di Desa Trunyan terdapat Topeng Brutuk
yang sering disebut Batara Brutuk. Di Desa Trunyan sebuah pura bernama
Pura Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah patung besar tanpa
busana setinggi empat meter yang bernama Bhatara Datonta atau Batara
Ratu Pancering Jagat. Batara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21
orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan topeng Brutuk. Wajah
topeng-topeng itu menyerupai topeng-topeng primitif, matanya besar
dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu
Bali . Topeng-topeng Brutuk itu ditarikan oleh anggota sekaa taruna.
Sebelum menari para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42
hari.
Selain itu, terdapat jugaBarong
yang merupakan topeng yang berwujud binatang, mitologi yang memiliki
kekuatan gaib dan dijadikan pelindung masyarakat Bali. Barong Ket juga
dianggap sebagai manifestasi dari Banaspati Raja, atau Raja Hutan. Orang
Bali menganggap seekor Singa sebagai Raja Hutan yang paling dahsyat.
Dalam pementasan tari Barong, figur Barong Ket dijadikan lambang
kemenangan dan Rangda merupakan pihak yang kalah. Namun di luar konteks
seni pergelaran, kedua figur itu disandingkan sebagai pelindung
masyarakat. Selain Barong Ket, di Bali terdapat beberapa jenis Barong
lainnya, seperti Barong Bangkal, Barong Gajah, Barong Macan, dan Barong
Asu.
Ada juga Barong Landung dari segi
wujudnya berbeda dengan barong-barong lainnya di Bali. Barong Landung
diduga manifestasi dari perkawinan Dalem Balingkang (Jaya Pangus) dengan
Putri Cina bernama Kang Ching Wie. Perkawinan itu tidak direstui oleh
Bhatari Batur, yang kemudian mempralina keduanya. Sebagai tonggak
peringatan, maka keduanya diwujudkan ke dalam pratima kecil dan disembah
di Pura Batur. Sebagai wujud besarnya, kedua pratima itu dibuat dalam
bentuk Barong Landung, laki-laki dan perempuan, Jero Gede dan Jero Luh.
Barong Dingkling atau Wayang Wong
disebut juga Barong Blas-blasan. Ciri khas penampilan Barong Dingkling
adalah meloncat-loncat dan kemudian berpisah-pisah satu sama lain untuk
mencari sasarannya. Barong Dingkling yang tapelnya berupa topeng-topeng
wanara seperti Sugriwa, Anoman, Anggada, Menda, dan Jumawan, merupakan
tari penolak bala dan hama. Setiap tokoh itu mengusir hama-penyakit.
Para wanara yang meloncat-loncat keriangan, dengan bunyi-bunyi ngore
seperti monyet, menggetarkan pohon-pohon kelapa pertanda ritual
pembersihan dilakukan.
Ada juga topeng Rangda, nama lain dari
Calonarang — janda dari Desa Girah (Dirah) yang mempraktekkan desti
(ilmu hitam) berwujud sebuah topeng yang sangat mengerikan. Biasanya
menggambarkan sifat kejahatan dalam dramatari Calonarang. Rangda sebagai
sungsungan (sakral) hampir tak pernah dipisahkan keberadaannya dengan
Barong Ket. Keduanya distanakan sebagai makhluk dahsyat yang bisa
memberi perlindungan kepada masyarakat penyungsungnya. Hampir setiap
desa di Bali memiliki kedua tokoh ini yang sebagai penjaga keselamatan
desa.
Yang terakhir adalah Topeng Babad yang
menggunakan babad sebagai sumber lakonnya. Ada dua jenis Topeng Babad
yaitu Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng Pajegan dimainkan seorang
penari (aktor) yang sendirian menarikan 8-12 tokoh berbeda dalam sebuah
pementasan. Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, karena ia berfungsi
untuk sarana upacara keagamaan dan dipentaskan sejajar dengan Wayang
Lemah. Sedangkan Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari.
Jenis-jenis Dramatari Topeng di Bali :
Topeng Pajegan
Kata pajegan mengacu kepada kegiatan
pedesaan masyarakat Bali agraris, yang kini bisa diterjemahkan dengan
”memborong”. Penari Topeng Pajegan memborong semua peran yang ada di
dalam cerita. Yang ada hanya seorang pemain, dan cerita berkembang
dengan seutuhnya lewat satu pemain. Pada intinya, Topeng Pajegan adalah
ritual yang mengiringi upacara keagamaan Hindu dalam budaya Bali yang
diakhiri dengan Topeng Sidakarya sebagai puncak dari ritual itu.
Oleh karena itu, penari Topeng Pajegan
adalah orang yang tinggi tingkatan spiritualnya, karena dia harus
memberikan pencerahan kepada masyarakat (penonton) apa inti upacara itu,
apa tujuan upacara, dan apa akibatnya apabila upacara ini tidak
dilaksanakan. Seorang penari Topeng Pajegan adalah seorang pendharma
wacana yang piawai, sekaligus memiliki kemampuan bercerita seperti
seorang dalang.
Topeng Pajegan, topeng yang ditarikan
oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat di
dalam topeng. Di dalam Topeng Pajegan ada sebuah topeng yang mutlak
harus ada yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan
topeng pajegan ini dengan upacara keagamaan maka topeng inipun disebut
topeng Wali.
Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya.
Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa
banyak pun banten yang dihaturkan, tidak akan ada artinya jika belum
mendapat ”restu” dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang
berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu
diperlukan pamuput karya di luar sulinggih, yakni pementasan Topeng
Sidakarya.
Legenda di balik pementasan Topeng
Sidakarya. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong
di Gelgel yang akan mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Tiba-tiba
ada seorang Brahmana walaka—bukan pendeta—dari Keling, Madura mengaku
akan mencari saudaranya yang tiada lain adalah Dalem Waturenggong.
Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling
sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip
seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf
kerajaan yang percaya kalau tamu tak diundang itu saudara Dalem
Waturenggong. seorang pandita. Maka, Brahmana Keling diusir dengan
paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Brahmana Keling pergi dengan dendam. Di
sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan
mantra yang isinya yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong
tidak akan membawa berkah, malahan menimbulkan bencana. Semua banten
menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus
semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah.
Raja Waturenggong dalam samadinya tahu
siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya
Tangkas untuk menjemput Brahmana Keling yang masih tinggal di tempat
sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan memohon kepada Brahmana Keling
agar karya yang dilaksanakan menjadi sida (diberkahi). Jika mampu maka Brahmana Keling akan diakui sebagai saudara dan diberi gelar Dalem Sidakarya.
Selanjutnya, Dalem Waturenggong
menitahkan agar setiap upacara atau karya yang dilaksanakan orang Bali
menggunakan Topeng Sidakarya sebagai pemuput upacara atau mohon jatu karya
Topeng Panca
Drama tari topeng yang ditarikan
oleh 5 ( lima ) orang penari. Topeng ini timbul di Denpasar sekitar
tahun 1915. Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari. Topeng ini
merupakan perkembangan dari Topeng Pajegan. Topeng Panca ini berkembang
menjadi Topeng Sapta, dengan tambahan penari Putri dan Condong.
Topeng Prembon
Dramatari topeng yang sudah
dikombinasikan dengan unsur drama tari Bali lainnya (biasanya dari arja)
namun strukturnya patopengannya masih tetap dominan. Topeng Prembon
yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng
Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni
pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan
penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.
Prembon (per-imbuh-an) adalah dramatari
campuran dari berbagai unsur dramatari klasik Bali yang ada.
Sesungguhnya setiap dramatari yang diciptakan dengan cara menggabungkan
berbagai unsur-unsur tari Bali yang telah ada dapat disebut sebagai
Prembon. Prembon muncul pada zaman revolusi, tepatnya tahun 1942,
Prembon lahir dari penggabungan seni Topeng dan Arja. Lakon yang
ditampilkan pada umunnya bersumber dari cerita Babad dan semi sejarah
lainnya sebagaimana halnya dramatari. Di daerah Gianyar, Prembon yang
banyak memasukan unsur-unsur Arja dan Gambuh biasa disebut Tetantrian.